Minggu, 25 November 2012
Tangerang, 01-10-2012
Hal : Lamaran Pekerjaan
Lamp : 1 (satu) bendel
Yth Bapak / Ibu Kepala Sekolah
di Tempat
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama Lengkap : Ikhsan Fauzi S.Pd.I
Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 27 Oktober 1990.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan Terakhir : Sarjana Pendidikan Islam (S.1)
Bersama
ini saya bermaksud mengajukan
permohonan surat lamaran kerja untuk mengisi formasi sebagai Guru
MI Al-furqon buaran asem.
Sebagai bahan pertimbangan,
bersama ini saya lampirkan berkas-berkas sebagai berikut :
Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini beberapa ijazah yang saya
miliki:
1.
1 (satu) lembar fotocopy ijazah yang telah
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang
2.
1
(satu) lembar
fotocopy Transkrip Nilai yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang
3.
1 (satu) lembar Fotocopy KTP yang telah
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang
4.
1 (satu) lembar Fotocopy Akta
Kelahiran/Surat Kenal Lahir yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang
5.
1 (satu) lembar Fotocopy Surat Keterangan
Catatan Kepolisian (SKCK) yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang
6.
Pas photo hitam putih/berwarna ukuran 3 X 4
atau 4 x 6 sebanyak 4 lembar
Demikian permohonan ini saya sampaikan, besar harapan saya semoga
bapak/Ibu senantiasa dapat mempertimbangkannya, Atas segala perhatian bapak /
ibu, saya haturkan terima kasih.
Hormat saya
Pelamar,
(Tanda tangan)
Ikhsan Fauzi,
S.Pd.I
Daftar
Riwayat Hidup
DATA PRIBADI
Nama
Lengkap : Ikhsan fauzi, S.Pd.I
Tempat
/tanggal lahir : Tangerang, 27 Oktober
1990.
Jenis
Kelamin : Laki-laki.
Status
Perkawinan : Belum.
Agama
: Islam.
Pendidikan
Terakhir : Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
PENDIDIKAN FORMAL
1.
Raudlatul Athfal Buaran Asem di Tangerang, berijazah tahun 1996.
2.
MI Mathla’ul Anwar Buaran
Asem di Tangerang, berijazah tahun 2002.
3.
SMP Al-furqon Buaran Asem
di Tangerang, berijazah tahun 2005.
4.
Madrasah Aliyah Al-ishlah kananga Menes di Pandeglang, berijazah
tahun 2008
5.
Universitas Mathla’ul
Anwar di Pandeglang, berijazah tahun 2012
PENGALAMAN KERJA / LAIN – LAIN
1.
Pernah bekerja sebagai
guru diponpes MA Al-ishlah Kananga Menes Pandeglang
2.
Pernah bekerja sebagai
egenci Prudencial di Jakarta Pusat Tahun 2012
KONTAK:
Alamat :KP, Kebon Baru RT/RW,
002/003 Desa, Tanjung Anom kec, Mauk Kab, Tangerang
Telepon / HP: 085776272043
/081808462996
Internet : ikhsanfauzi503@yahoo.com
Demikian
Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Add caption |
Hormat saya
Pelamar,
(Tanda tangan)
Ikhsan Fauzi,
S.Pd.I
Jumat, 29 Juni 2012
Kamis, 28 Juni 2012
MAKALAH PENDAPAT EMPAT MAZHAB TERKAIT SHALAT JAMAK
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Setiap manusi memiliki ilmu dan tingkat pemahaman serta
berbagai pendapat yang berbeda. Penyebabnya adalah pemahaman tentang al-qur’an
dan hadist serta ilmu yang dimiliki. Dalam islam terkenal denga 4 imam yang menjadi
acuan kuam muslimin dalam melakukan sesuatu atau memutuskan bagaimana harus
melakukan suatu ibadah. Dalam hal ini ada perbedaan yang terjadi dikalangan
para pengikut imam ini dalam malakukan ibadah, salah satunya adalah
permasalahan shalat jamak.
Dari masing-masing imam mememilki alasan dan landasan
tertentu dalam memutuskan perkara ini. Mereka memberikan pemdapat sesuai dengan
disiplin Ilmu yang mereka dapat serta pemahaman mereka tentang sumber kebenaran
islam itu sendiri
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas ada persolan pokok yang
menjadi landasan dan dasar melakukan penulisan karya ilmiah ini yakni
bagaimanakah pendapat masing-masing imam dalam menetapkan masalah shalat jamak
3. Tujuan
Dari latar belakang diatas dapatlah panulis merumuskan
ytujuan dari penulisan makalah ini yakni mengetahui bagaimana pendaoat imam
mazhab terkait masalah shalat jamak.
BAB II
PENDAPAT EMPAT
MAZHAB TERKAIT SALAT JAMAK.
1. Pendapat Malikiyah
Mereka
berpendapat bahwa sebab-sebab shalat Jama' itu sebagai berikut:
1. Safar (melakukan perjalanan)
2. Sakit
3. Hujan
4. Tanah berlumpur (becek) serta gelap
pada akhir bulan.
5. Ada di Arafah atau di Muzdalifah
bagi yang menunaikan ibadah haji.
Sebab pertama adalah “safar”. Yang dimaksud adalah semua perjalanan,
mencapai jarak qashar ataupun tidak; dan disyaratkan perjalanan itu tidak
haraam dan tidak pula makruh. Maka bagi orang yang melakukan safar yang
hukumnya mubah, boleh menjamak antara shalat dzuhur dan ashar dengan jamak
taqdim dengan dua syarat:
a. Matahari telah tergelincir ket6ika
sesorang musafir berhenti I suatu tempat untuk istirahat.
b. Ia berniat untuk pergi sebelum waktu
ashar masuk, dan akan berhenti untuk beristirahat lagi setelah terbenam
matahari.
Jika ia berniat berhenti sebelum matahari menguning, maka sebelum
pergi hendaklah melaksanakan shalat Zhuhur terlebih dahulu dan wajib
mengakhirkan shalat Ashar sehingga ia berhenti, karena berhentinya itu tepat
pada waktunya yang iklntiyari (luas), maka tidak ada alasan baginya untuk
menjama' taqdim shalat tersebut. Jika ia jama' toqdim dengan shalat Zhuhur,
maka shalat sah, akan tetapi ia berdosa, dan disunnatkan baginya untuk
mengulang shalat Ashar itu pada waktunya yang ikhtiyari tadi setelah ia
berhenti. Sedang apabila ia berniat berhenti setelah matahari menguning
(sebelum Maghrib), maka hendaklah ia melaksanakan shalat Zhuhurnya sebelum
pergi, dan mengenai shalat Asharnya, boleh memilih, boleh di-taqdim, dan boleh
juga di-ta'khir hingga ia berhenti, karena shalat Ashar itu - bagaimanapun juga
- masih dilaksanakan pada waktu dharuri. Sebab bila Ashar itu di-taqdim tetap
dilaksanakan pada waktu dharuri yang didahulukan karena alasan safar, dan bila
di-ta'khir juga tetap dilaksanakan pada waktu dharuri yang disyari'atkan.
Bila waktu Zhuhur telah masuk - yang ditandai dengan tergelincirnya
matahari - sedangkan ia dalam perjalanan, maka bila ia berniat untuk berhenti
ketika matahari menguning atau sebelum menguning, ia boleh men-ta'khir Zhtihur
sehingga menjama'nya dengan Ashar setelah berhenti. Dan jika berniat untuk
berhenti setelah matahari terbenam, maka ia tidak boleh men-ta'khir Ashar
hingga berhenti, karena yang demikian itu dapat menyebabkan kehiarnya kedua
shalat tersebut dari waktunya. Akan tetapi antara kedua shalat itu hendaklah
dijama' secara simbolis, yaitu dengan melaksanakan shalat Zhuhur pada akhir
waktunya yang ikhtiyari dan melaksanakan Ashar pada awal waktunya yang
ikhtiyari. Sedangkan shalat Maghrib dan Isya' hukumnya sama dengan Zhuhur dan
Ashar dalam semua rincian ini. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa awal waktu
shalat Maghrib, yaitu terbenamnya matahari, sama dengan kedudukan
tergelincirnya matahari dibandingkan dengan shalat Zhuhur; dan sepertiga malam
pertama sama kedudukannya dengan menguningnya matahari setelah Ashar. Sedangkan
terbitnya fajar sama dengan terbenamnya matahari seperti yang telah dikemukakan
tadi.
Apabila ia
memasuki waktu Maghrib sedang ia dalam keadaan berhenti, maka apabila ia
berniat berangkat sebelum memasuki waktu Isya' dan berherti sebelum terbit
fajar, hendaklah ia men-jama' taqdim shalat Isya' dengan Maghribnya sebelum
berangkat; dan apabila ia berniat berhenti sebelum sepertiga malam pertama,
maka hendaklah ia men-ta'khir lsya'nya sehingga berhenti. Sedang apabila ia
berniat berhenti setelah sepertiga malam pertama maka hendaklah ia melaksanakan
shalat Maghribnya sebelum berangkat, dan mengenai shalat Isya'nya ia boleh
memilih. Berdasarkan hal ini Anda dapatmengqiyaskan(mengambilperbandingan).
Hukum shalat jama' bagi seorang musafir adalah boleh, dalam artian khilaf al-Aula (menyalahi ketentuan yang lebih utama). Maka yang paling utama adalah meninggalkan jama'. Shalat jama' itu hanya boleh dilaksanakan bila ia melakukan perjalanan darat. Sedang untuk perjalanan laut, maka tidak boleh menjama' shalat, karena dispensasi (kebolehan) jama' itu hanya berlaku unttik perjalanan darat, tidak untuk perjalanan lainnya.Sebab kedua, adalah sakit. bagi orang sakit yang susah untuk berdiri pada setiap kali shalat atau ia susah untuk wudhu', seperti orang yang sakit perut, maka ia boleh menjama' antara Zhuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya' secara simbolis, misalnya dengan cara melaksanakan Zhuhur pada akhir waktunya yang ikhtiyari dan melaksanakan Ashar pada awal waktunya yang ikhtiyari, serta melaksanakan shalat Maghrib sesaat sebelum hilangnya mega (merah) dan melaksanakan shalat Isya' pada awal hilangnya mega (merah). Ini bukanlah jama' hakiki, karena masing-masing shalat itu tetap dilaksanakan pada waktunya. Yang demikian itu hulnrmnya boleh, tidak makruh. Dan bagi orang yang melakukannya itu memperoleh keutamaan awal waktu. Berbeda halnya dengan orang yang tidak ada uzdur, sekalipun ia boleh melaksanakan shalat jama' secara simbolis, akan tetapi ia telah kehilangan fadilah (keutamaan) awal waktu.
Hukum shalat jama' bagi seorang musafir adalah boleh, dalam artian khilaf al-Aula (menyalahi ketentuan yang lebih utama). Maka yang paling utama adalah meninggalkan jama'. Shalat jama' itu hanya boleh dilaksanakan bila ia melakukan perjalanan darat. Sedang untuk perjalanan laut, maka tidak boleh menjama' shalat, karena dispensasi (kebolehan) jama' itu hanya berlaku unttik perjalanan darat, tidak untuk perjalanan lainnya.Sebab kedua, adalah sakit. bagi orang sakit yang susah untuk berdiri pada setiap kali shalat atau ia susah untuk wudhu', seperti orang yang sakit perut, maka ia boleh menjama' antara Zhuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya' secara simbolis, misalnya dengan cara melaksanakan Zhuhur pada akhir waktunya yang ikhtiyari dan melaksanakan Ashar pada awal waktunya yang ikhtiyari, serta melaksanakan shalat Maghrib sesaat sebelum hilangnya mega (merah) dan melaksanakan shalat Isya' pada awal hilangnya mega (merah). Ini bukanlah jama' hakiki, karena masing-masing shalat itu tetap dilaksanakan pada waktunya. Yang demikian itu hulnrmnya boleh, tidak makruh. Dan bagi orang yang melakukannya itu memperoleh keutamaan awal waktu. Berbeda halnya dengan orang yang tidak ada uzdur, sekalipun ia boleh melaksanakan shalat jama' secara simbolis, akan tetapi ia telah kehilangan fadilah (keutamaan) awal waktu.
Sedangkan orang sehat yang khawatir akan mengalami pusing kepala
yang dapat menghalanginya melaksanakan shalat sesuai dengan cara yang
semestinya, atau khawatir pingsan yang dapat menghalanginya melaksanakan shafat
ketika memasuki waktu shalat yang kedua, seperti (waktu) Ashar bagi Zhuhur, dan
(waktu) Isya' bagi Maghrib, maka dibolehkan baginya men-taqdim shalat yang
kedua bersama shalat yang pertama. Jika ia men-taqdim shalat tersebut sementara
apa yang dikhawatirkannya itu tidak terjadi, maka sebaiknya ia mengulang Pada
waktu itu juga, sekalipun pada waktu dharuri.
Sebab ketiga
dan keempat, yaitu hujan, berlumpur dan gelap. Apabila ada hujan lebat yang
sampai menyebabkan seseorang menutup kepalanya, atau menyebabkan tanah sangat
berlumpur yang sampai menyebabkan seseorang melepas sepatunya disertai gelap,
maka dibolehkan menjama' taq~lim lsya' dengan Maghrib untuk tetap menjaga
(pelaksanaan) shalat lsya' dengan berjama'ah tanpa ada kesulitan. Maka ia
berangkat ke masjid pada waktu Maghrib dan melaksanakan kedua shalat itu
(Maghrib dan Isya') sekaligus. Sholat jama' semacam ini boleh dalam arti khilaf
al-Aula (menyalahi ketentuan yang lebih utama). Yang demikian itu khusus
dilaksanakan di dalam masjid; maka tidak bolehdilaksanakandirumah-rumah.
Mengenai sifat shalat jama' ini, hendaknya dikumandangkan adzan Maghrib terlebih dahulu dengan suara keras sebagaimana biasanya, kemudian disunnatkan menunda shalat Maghrib itu setelah adzan sebatas lama kurang lebih melaksanakan tiga rakaat, baru kemudian melaksanakan shalat Maghrib. Lalu disunnatkan beradzan untuk shalat Isya' di masjid, bukan di atas menara, agar tidak orang-orang tidak menduga telah masuk waktu Isya' yang biasa. Adzan itu hendaklah dikumandangkan dengan suara rendah, kemudian shalat Isya' itu dilaksanakan. Antara adzan dan Isya' jangan sampai dipisah dengan shalat nafilah; demikian juga dimakruhkan melalcsanakan shalat nafilah antara setiap dua shalat yang dijama'. Bila dilaksanakan (shalat nafilah), itu tidak berarti menghalangi dilaksanakannya nafilah setelah Isya' yang dijama' karena hujan; dan hendaklah ia menunda shalat Witirnya sehingga mega merah hilang, karena shalat Witir itu tidak sah dilaksanakan kecuali setelah hilangnya mega merah. Bagi orang yang shalat sendirian tidak boleh melaksanakan shalat jama' di masjid kecuali ia imam tetap yang mempunyai rumah tempat pulang, maka ia boleh menjama' sendirian dengan niat jama' sekaligus imamah, karena shalat jama' itu (baginya) berfungsi sebagai shalat jama'ah. Bagi orang yang ber-i'tikaf di masjid boleh menjama' mengikuti orang yang menjama' di masjid tersebut,bilaada.Apabila hujan reda setelah memulai shalat pertama, maka ia (tetap) boleh menjama', lain halnya bila hujan itu reda sebelum memulai shalat.
Mengenai sifat shalat jama' ini, hendaknya dikumandangkan adzan Maghrib terlebih dahulu dengan suara keras sebagaimana biasanya, kemudian disunnatkan menunda shalat Maghrib itu setelah adzan sebatas lama kurang lebih melaksanakan tiga rakaat, baru kemudian melaksanakan shalat Maghrib. Lalu disunnatkan beradzan untuk shalat Isya' di masjid, bukan di atas menara, agar tidak orang-orang tidak menduga telah masuk waktu Isya' yang biasa. Adzan itu hendaklah dikumandangkan dengan suara rendah, kemudian shalat Isya' itu dilaksanakan. Antara adzan dan Isya' jangan sampai dipisah dengan shalat nafilah; demikian juga dimakruhkan melalcsanakan shalat nafilah antara setiap dua shalat yang dijama'. Bila dilaksanakan (shalat nafilah), itu tidak berarti menghalangi dilaksanakannya nafilah setelah Isya' yang dijama' karena hujan; dan hendaklah ia menunda shalat Witirnya sehingga mega merah hilang, karena shalat Witir itu tidak sah dilaksanakan kecuali setelah hilangnya mega merah. Bagi orang yang shalat sendirian tidak boleh melaksanakan shalat jama' di masjid kecuali ia imam tetap yang mempunyai rumah tempat pulang, maka ia boleh menjama' sendirian dengan niat jama' sekaligus imamah, karena shalat jama' itu (baginya) berfungsi sebagai shalat jama'ah. Bagi orang yang ber-i'tikaf di masjid boleh menjama' mengikuti orang yang menjama' di masjid tersebut,bilaada.Apabila hujan reda setelah memulai shalat pertama, maka ia (tetap) boleh menjama', lain halnya bila hujan itu reda sebelum memulai shalat.
Sebab kelima,
ada di Arafat. Bagi yang menunaikan ibadah haji disunnatkan menjama' antara
shalat Zhuhur dan Ashar dengan jama' taqdim di Arafat, baik ia penduduk Arafat
atau salah seorang penduduk dari daerah tempat ibadah haji lainnya, seperti
Mina dan Muzdalifah, atau salah seorang Penduduk daerah jauh. Dan disunnatkan
bagi yang bukan penduduk Arafat untuk mengqashar, sekalipun jaraknya tidak
mencapai jarak qashar.
Sebab keenam,
orang yang menunaikan ibadah haji itu ada di Muzdalifah. Bagi orang yang
menunaikan ibadah haji, setelah bertolak dari Arafat disunnatkan men-ta'khir
shalat Maghribnya hingga ia sampai di Muzdalifah, maka shalat Maghrib itu
di-jama' ta'khir dengan shalat Isya'nya. Shalat jama’ ini hanya disunnatkan
bagi seseorang yang wuquf di Arafat bersama imam. Jika tidak, maka hendaklah ia
melaksanakan masing-masing shalat itu pada waktunya. Dan disunnakan mengqashar
shalat Isya' bagi selain penddatang Muzdalifah , karena qaidah (yang mereka
pakai) bahwa menjama' itu hukumnya sunnat bagi setiap jama'ah haji, sedangkan
qashar adalah khusus bagi selain penduduk yang tinggal di tempat itu, yakni
Arafat dan Muzdalifah.
2. Pendapat Syafi'iyah
Mereka
berpendapat bahwa seorang musafir yang melakukan perjalanan qashar yang telah
dikemukakan terdahulu dengan memenuhi syarat-syarat safar dibolehkan men-jama' taqdim
atau ta'khir antara dua shalat yang tetah disebutkan tadi; dan dibolehkan
men-jama' taqdim saja disebabkan hujan. Dalam jama' taqdim terdapat enam
syarat, yaitu:
1. Tertib, yaitu dengan memulai shalat
yang mempunyai wakrii tersebut. Bila musafir itu berada pada waktu Zhuhur dan
hendak melaksanakan shalat Ashar bersama Zhuhur pada waktu Zhuhur, maka ia
harus memulai dengan shalat Zhuhur. Jika dibalik, maka shalat Zhuhur itu sah,
sehagai yang mempunyai waktu; sedangkan shalat yang sebelum Zhuhur (yaitu
Asharf tidak sah sebagai shalat fardhu dan tidak pula sebagai nafilal, (yaitui)
bila ia tidak mempunyai tanggungan shalat fardhu (Ashar) yang sama. Bila
mempunyai tanggungan itu, maka shalat tersebut berfungsi sebagat. penggantinya.
Jika ia lakukan hal tersebut karena lupa atau tidak tahu, maka shalat tersebut
sah sebagai nafilah.
2. Niat shalat jama' itu dilakukan
dalam shalat pertama, yaitu dengan berniat dalam hatinya bahwa ia akan
melaksanakan shalat Ashar setelah shalat Zhuhur. Niat tersebut disyaratkan agar
dilakukan dalam shalat pertama sekalipun bersamaan dengan salamnya. Maka niat
itu tidak cukup dilakukan sebelum takbiratul ihram (shalat kedua) dan tidak
pula setelah salam (shalat pertama).
3. Menyegerakan antara kedua shalat
tersebut, dalam arti jarak antara keduanya tidak boleh lama sebatas cukup
melaksanakan dua raka'at yang sesederhana mungkin. Maka ia tidak boleh
melaksanakan shalat sunnat rawatib di antara kedua shalat tersebut. Antara
kedua shalat itu boleh dipisah dengan adzan, iqamah dan bersuci. Jika ia
melaksanakan shalat Zhuhur dengan tayamum, kemudian hendak menjama' shalat
Ashar hersamanya, maka tidak batal memisah (kedua shalat itu) dengan tayamum
yang kedua kalinya untuk shalat Ashar, karena menjama' antara dua shalat tidak
boleh dengan satu tayamum, sebagaimana terdahulu.
4. Perjalanan tersebut tetap
berlangsung hingga ia memulai shalat kedua yang ditandai dengan takbiratul
ihram, sekalipun setelah itu perjalanan tersebut terputus ketika sedang
melaksanakan shalat. Sedang apabila perjalanannya itu terputus sebelum memulai
shalat, maka jama'nya itu tidak sah karena hilangnya sebab.
5. Waktu shalat yang pertama diyakini
masih ada hingga ia melaksanakan shalat yang kedua.
6. Shalat yang pertama diduga kuat sah.
Jika shalat yang pertama adalah shalat Jum'at yang didirikan di suatu tempat
yang terdapat banyak masjid tanpa ada suatu kebutuhan sementara ia ragu-ragu
apakah shalat Jum'at yang ia laksanakan itu lebih dulu selesai atau bersamaan?
maka shalat Ashar itu tidak sah dijama' taqdim dengan shalat Jum'at yang lebih
utama adalah meninggalkan Jama', karena tentang kebolehannya masih
diperselisihkan dalam pendapat berbagai madzhab. Akan tetapi shalat jama' itu
hukumnya sunnat apabila seorang yang melakukan ibadah haji itu melakukan perjalanan,
sedang ia tinggal di Arafat atau di Muzdalifah. Yang afdhal bagi yang pertama
(yang tinggal di Arafat) adalah men-jama' taqdim Ashar dengan Zhuhur. Sedangkan
bagi yang kedua (yang tinggal di Muzdalifah) adalah men-jama' ta'kmir Maghrib
dengan Isya', karena para madzhab sepakat dengan bolehnya menjama' keduanya.
Dan ketahuilah bahwa jama' itu terkadang juga hukumnya wajib dan terkadang mandub. Apabila waktu shalat yang pertama itu tidak cukup untuk melakukan thaharah (bersuci) dan shalat, maka ia wajib men-jama' ta'khir. Dan disunnatkan menjama' bagi yang menunaikan haji yang bepergian seperti yang telah dijelaskan terdahulu, sebagaimana juga disunnatkan apabila dengan jama' tersebut dapat menyebabkan sempurnanya shalat, misalnya ia berjama'ah ketika menjama' sebagai pengganti shalatnya yang sendirian ketika ia tidak menjama'. Untuk menjama' ta'khir shalat ketika bepergian disyaratkan dua hal:
Dan ketahuilah bahwa jama' itu terkadang juga hukumnya wajib dan terkadang mandub. Apabila waktu shalat yang pertama itu tidak cukup untuk melakukan thaharah (bersuci) dan shalat, maka ia wajib men-jama' ta'khir. Dan disunnatkan menjama' bagi yang menunaikan haji yang bepergian seperti yang telah dijelaskan terdahulu, sebagaimana juga disunnatkan apabila dengan jama' tersebut dapat menyebabkan sempurnanya shalat, misalnya ia berjama'ah ketika menjama' sebagai pengganti shalatnya yang sendirian ketika ia tidak menjama'. Untuk menjama' ta'khir shalat ketika bepergian disyaratkan dua hal:
1. Berniat ta'khir pada waktu shalat
yang pertama selama sisa waktunya itu masih cukup untuk melaksanakan shalat dengan
sempurna atau qashar, Bila ia tidak berniat ta'khir, atau berniat ta'khir akan
tetapi sisa waktunya tidak cukup untuk melaksanakan shalat, berarti ia telah
berdosa. Dan shalat itu menjadi shalat qadha' bila ia tidak sempat melaksanakan
satu raka'at dari shalat tersebut pada waktunya. Bila sempat, berarti shalat
itu dihukumi sebagai shalat ada' (shalat tunai) namun hukumnya tetap haram.
2. Perjalanan itu tetap berlangsung
hingga kedua shalat tersebut sempur. Jika sebelum itu ia mukim, maka shalat
yang diniatkan ta'khir itu memjadi shalat qadha'. Sedangkan menertibkan dan
menyegerakan antara shalat itu - dalam jama' ta'khir - hukumnya sunnat, bukan
syarat. Bila salah satu dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, maka tidak
boleh bagi yang mukim menjama' shalat. Gelap gulita, angin, takut, tanah
berlumpur (becek) dan sakit bukanlah termasuk sebab-sebab yang membolehkan jama
bagi seorang yang mukim, berdasarkan pendapat yang masyhur; sedang pendapat
yang rajih membolehkan jama' taqdim dan ta'khir dengan alasan sakit.
3. Pendapat Hanafiyah
Mereka
berpendapat bahwa menjama' antara dua shalat dalam satu waktu tidak boleh, baik
dalam safar ataupun pada saat hadhar (ada di kampung halaman) dengan alasan
apapun, kecuali dalam dua hal, yaitu: Pertama: Boleh men-jama' taqdim Zhuhur
dan Ashar pada waktu Zhuhur dengan empat syarat:
1. Shalat jama' itu dilakukan pada hari
Arafah (bagi jama'ah haji).
2. Orang tersebut sedang dalam ihram
haji.
3. Berjama'ah di belakang imam kaum
muslimin atau wakilnya.
4. Shalat Zhuhur yang ia laksanakan itu
sah. Bila ternyata shalat Zhuhur itu ketahuan batal, maka ia wajib
mengulangnya, dan dalam hal ini ia tidak boleh menjama' shalat Zhuhur itu
dengan Ashar, melainkan ia wajib melaksanakan Ashar itu bila waktunya telah
masuk.
Kedua, Boleh men-jama' ta'khur Maghrib dan Isya' pada waktu Isya' dengan dua syarat:
Kedua, Boleh men-jama' ta'khur Maghrib dan Isya' pada waktu Isya' dengan dua syarat:
a. Orang tersebut ada di Muzdalifah.
b. Ia sedang dalam ihram haji.
Kedua shalat
itu dijama' tanpa diadzankan kecuali sekali, sekalipun masing-masing dari kedua
shalat tersebut menggunakan iqamah tersendiri. Abdullah bin Mas'ud berkata:
“Demi Dzat Yang tiada Tuhan selain Dia, Rasulullah SAW belum pernah melaksanakan shalat kecuali pada waktunya, selain dua shalat, yaitu jama' antara Zhuhur dan Ashar di Arafat dan jama' antara Maghrib dan Isya' di Muzdilifah.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).
“Demi Dzat Yang tiada Tuhan selain Dia, Rasulullah SAW belum pernah melaksanakan shalat kecuali pada waktunya, selain dua shalat, yaitu jama' antara Zhuhur dan Ashar di Arafat dan jama' antara Maghrib dan Isya' di Muzdilifah.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).
4. Pendapat Hanabilah
Mereka
berpendapat bahwa menjama' taqdim atau ta'khir antara 2huhur dan Ashar, atau
antara Maghrib dan Isya' itu hukumnya mubah (boleh), sedangkan meninggalkan
jama' hukumnya afdhal. Men-jama' taqdim antara 2huhur dan Ashar hanya sunnat
dilaksanakan di Arafat. Dan men-jama' ta'khir antara Maghrib dan Isya' hanya
sunnat dilaksanakan di Muzdalifah.
Menjama' shalat
itu boleh dengan syarat ia musafir yang perjalanannya mencapai jarak qashar,
atau ia sakit di mana akan menyusahkannya dengan tidak menjama, atau ia seorang
wanita yang sedang menyusui atau sedang mengalami darah istihadhah, maka ia
boleh menjama', untuk menghndari kesulitan dalam bersuci pada setiap kali akan
melaksanakan shalat. Yang semisal dengan wanita udzur yang sedang mengalami
istihadhah adalah orang yang terkena penyakit beser (sering kencing). Begitu
pula jama' itu boleh bagi yang tidak mampu bersuci dengan air dan tayamum pada
setiap kali shalat. Dan boleh juga dilakukan oleh seseorang yang tidak mampu
mengetahui waktu shalat, seperti orang buta dan orang yang tinggal di bawah
tanah. Demikian juga dibolehkan menjama' bagi orang yang mengkhawatirkan
(keselamatan dirinya, hartanya atau kehormatannya; serta bagi orang yang
mengkhawatirkan suatu bahaya yang dapat mengancam dirinya dalam hidupnya dengan
meninggalkan jama' tersebut. Juga bagi para pekerja yang tidak mungkin untuk
meninggalkan pekerjaannya diberi keluasan (keringanan) untuk melakukan shalat
jama'.
Semua hal tadi
membolehkan jama' antara Zhuhur dan 'Ashar atau antara Maghrib dan Isya' dengan
jama' taqdim dan ta'khir. Dan boleh menjama' antara Maghrib dan Isya' secara
khusus karena salju, dingin, air membeku, tanah berlumpur, angin kencang yang
dingin dan hujen yang dapat membasahi pakaian dan dapat menimbulkan kesusahan.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara shalat di rumah atau di masjid,
sekalipun jalannya beratap. Yang afdhal adalah hendaknya ia memilih yang lebih
mudah dalam menjama' antara taqdim'' atau ta'khir. Jika antara keduanya itu
seimbang, maka yang afdhal adalah men-jama' ta'khir. Dan untuk sahnya jama'
taqdim dan ta'khir itu disyaratkan hendaklah ia tetap menjaga tertibnya shalat
antara shalat-shalat tersebut. Dalam hal ini shalat jama' tidaklah gugur karena
lupa, sebagaimana ia gugur ketika mengqadha shalat yang tertinggal, yang akan
dijelaskan nanti.
Untuk sahnya
jama' taqdim itu sendiri disyaratkan empat hal:
1. Berniat jama' ketika takbiratul
ihram dalam shalat yang pertama,
2. Antara kedua shalat itu tidak boleh
terpisah kecuali sebatas iqamah dan benuudhu sekedarnya. Jika melaksanakan
shalat sunnat rawatib di antara kedua shalat tersebut, maka jama' itu tidak sah
3. Ada udzur yang membolehkan jama' ketika memulai kedua shalat tersebut
ketika mengucapkan salam dalam shalat yang pertama.
4. Udzur tersebut tetap berlangsung
hingga selesai melaksanakan shalat yang kedua.
Untuk jama' ta'khir itu sendiri disyaratkan dua hal:
Untuk jama' ta'khir itu sendiri disyaratkan dua hal:
a. Berniat menjama' pada waktu shalat
yang pertama, kecuali apabila kedua shalat waktunya sempit untuk melakukan niat
tersebut, maka pada saat itu ia tidak boleh menjama' dengan shalat yang kedua.
b. Udzur yang membolehkan jama' itu
tetap berlangsung sejak menentukan niat jama' pada waktu shalat pertama hingga
memasuki waktu shalat yang kedua.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Untuk sahnya
jama' taqdim itu sendiri disyaratkan empat hal:
1. Berniat jama' ketika takbiratul
ihram dalam shalat yang pertama,
2. Antara kedua shalat itu tidak boleh
terpisah kecuali sebatas iqamah dan benuudhu sekedarnya. Jika melaksanakan
shalat sunnat rawatib di antara kedua shalat tersebut, maka jama' itu tidak sah
3. Ada udzur yang membolehkan jama' ketika memulai kedua shalat tersebut
ketika mengucapkan salam dalam shalat yang pertama.
4. Udzur tersebut tetap berlangsung
hingga selesai melaksanakan shalat yang kedua.
Untuk jama' ta'khir itu sendiri disyaratkan dua hal:
Untuk jama' ta'khir itu sendiri disyaratkan dua hal:
c. Berniat menjama' pada waktu shalat
yang pertama, kecuali apabila kedua shalat waktunya sempit untuk melakukan niat
tersebut, maka pada saat itu ia tidak boleh menjama' dengan shalat yang kedua.
d. Udzur yang membolehkan jama' itu
tetap berlangsung sejak menentukan niat jama' pada waktu shalat pertama hingga
memasuki waktu shalat yang kedua.
DAFTAR
ISI
BAB I
1.
Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1
2.
Rumusan Masalah
……………………………………………….. 1
3.
Tujuan…………………………………………………………….. 1
BAB II PENDAPAT EMPAT
MAZHAB TERKAIT SALAT JAMAK.
1. Pendapat Malikiyah
……………………………………………….. 2
2. Pendapat Syafi'iyah
……………………………………………….. 5
3. Pendapat Hanafiyah
………………………………………………. 3
4. Pendapat Hanabilah ………………………………………………. 9
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
…………………………………………………………
MAKALAH
PENDAPAT EMPAT MAZHAB TERKAIT SALAT JAMAK.
Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kapita selekta
Disusun oleh :
IKHSAN FAUZI
Nim :A. 02080088
FAKULTAS AGAMA
UNIVERSITAS
MATHLA'ULANWAR
( UNMA
) BANTEN 2010 – 2011
DAFTAT PUSTAKA
DRs. Lamuhdin Nasution, Mag, FIQIH IBADAH, Cet II Jakarta, Lugas Wacana
Ilmu 1990
Langganan:
Postingan (Atom)